Cari Yang Anda Inginkan

Saturday, December 12, 2009

DESAIN KURIKULUM PENGANTISIPASI KRISIS MORAL

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Manusia dengan potensi akal yang dimiliki adalah pembeda yang jelas dengan makhluk yang lain di muka bumi ini, kemampuan ini memberikan arah bagi manusia untuk melakukan sesuatu secara sempurna. Perkembangan manusia akan berjalan dengan baik jika dilakukan dengan pendidikan yang terarah (formal), walau bisa mendapat pengetahuan tanpa pendidikan seseorang akan tetap mengalami perkembangan tetapi tidak maksimal pada target yang akan dicapai. Dalam proses belajar dan pembelajaran pada umumnya materi pembelajaran diupayakan berorientasi pada head, heart dan hand, yaitu berkaitan dengan pengetahuan, sikap/nilai dan keterampilan. Namun masih diperlukan faktor kesehatan (healt) sehingga akan dimiliki empat H, yaitu: pertama, Head kedua, Hand, ketiga Heart, keempat Helth.

Ini karena dalam sistem pendidikan harus menampilkan dirinya yang berfungsi sebagai transfer of knowledge, Transfer of skill, dan mampu mewariskan nilai-nilai lewat fungsinya sebagai transfer of value, serta sistem pendidikan harus juga mampu menjadi alat transfer of social, yang mampu sejalan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang semakin kompleks dimasa yang akan datang.
Namun sampai saat ini yang menjadi kelemahan sistem pendidikan kita adalah adanya kesenjangan antara kurikulum yang dilaksanakan oleh lembaga pendidikan dengan realitas sosial masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lembaga pendidikan cenderung lebih formalistik, lebih mementingkan transformasi pengetahuan dan kurang memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Dan keadaan ini tambah parah dengan bergulirnya otonomi daerah, ditandai ketidaksiapan pemerintah dan masyarakat, baik secara kuantitas yaitu sarana dan prasarana serta dana yang tersedia dan secara kualitas, yaitu penanaman sistem pendidikan yang lebih akomodatif dan sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
Dengan kerangka pemikiran tersebut, maka perlu diperhatikan yaitu ketika ide-ide pengembangan kurikulum terlembagakan dalam sebuah dokumen kurikulum yang pada akhirnya harus diimplementasikan, maka guru disini akan menjadi ujung tombak keberhasilan implementasi kurikulum. Oleh karena itu perhatian hendaknya diletakkan pada desain kurikulum dalam proses pembelajaran, adalah satu hal yang perlu ditanggapi secara serius. Menurut Beauchamp (Zais, 1976) salah satu kelemahan yang utama dari kebanyakan proyek pengembangan kurikulum adalah adanya ketimpangan antara dokumen kurikulum dengan implementasi kurikulum. Diantara penyebabnya adalah ketidak-mampuan guru dalam menterjemahkan dan mengembangkan materi dan strategi pembelajaran dan pada akhirnya dokumen hanya menjadi penghias rak atau laci meja tulis. Disamping itu, guru kurang menguasai desain-desain kurikulum secara pasti dan jelas, sehingga terjadi pembiasan pada pencapaian tujuan yang telah direncanakan dari kurikulum tersebut.
Dan yang sangat mengkhawatirkan dalam penerapan kurikulum adalah pengaplikasian nilai-nilai moral yang luhur telah mulai diabaikan, walaupun ada sebagian mata pelajaran yang menanamkan akhlak mulia pada proses pembelajarannya, namun hal itu hanya menjadi hafalan di lidah dan menjadi tugas demi mencapai nilai yang bagus dalam ujian, tanpa terbekas makna yang membentuk karakter siswa.
Hal ini terjadi karena kekurang-pahaman guru terhadap cara mengajar yang benar. Baik dari segi cara penyampaian maupun sebagai suri tauladan bagi peserta didik. Padahal cara penyampaian itu lebih penting dibandingkan materi itu sendiri الطريقة اهم من المادة seperti menasihati siswa yang sering berkata-kata kotor dengan tujuan agar dia tidak mengulanginya dengan cara memarahi dengan cacian dan hukuman fisik atau melalui nasehat tentang ketersinggungan orang yang mendengarkan.
Dengan demikian desain kurikulum yang akan datang harus mempertimbangkan hal sebagai berikut; pertama adanya kesesuaian antara kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dan kondisi alamnya, kedua pengembangan kurikulum disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketiga kurikulum harus berisikan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan disesuaikan dengan budaya nasional dan budaya daerah masing-masing, keempat kurikulum harus mampu mengantisipasi perubahan sosial dalam masyarakat. Dan yang terakhir, kelima bahwa kurikulum harus memuat nilai-nilai agama yang sesuai dengan peserta didik, sehingga terwujud generasi yang memiliki kapabelitas Iptek dan Imtaq yang paripurna.

B. PENGERTIAN DESAIN KURIKULUM
Untuk memahami lebih baik dengan desain kurikulum, ada lima hal penting ketika akan melakukan pengembangan suatu kurikulum yaitu :
1. menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum.
2. menetapkan personalia yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat dalam pengembangan kurikulum.
3. Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum.
4. implementasi kurikulum.
5. evaluasi kurikulum, dalam eveluasi ini termasuk di dalamnya mengevaluasi desain kurikulum.
Dalam teori kurikulum terdapat dua dimensi utama yaitu: desain kurikulum dan kurikulum engineering, menurut George A. Beauchamp (1975:101)”….Curriculum design may be defined as the substance and organization of goal and culture content so arranged as to reveal potential progression through levels of schooling. (Desain kurikulum bisa digambarkan sebagai unsur pokok, komponen hasil atau sasaran dan kultur yang membudaya).
Menurut Oemar Hamalik (1993) pengertian Desain adalah suatu petunjuk yang memberi dasar, arah, tujuan dan teknik yang ditempuh dalam memulai dan melaksanakan kegiatan. Fred Percival dan Henry Ellington (1984), pada Hamalik: 2007 mengemukakan bahwa desain kurikulum adalah pengembangan proses perencanaan, validasi, implementasi, dan evaluasi kurikulum.
Dan menurut Nana S. Sukmadinata (2007:113) desain kurikulum adalah menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan vertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Sedangkan dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran.

C. PRINSIP-PRINSIP DALAM MENDESAIN KURIKULUM
Saylor (Hamalik:2007) mengajukan delapan prinsip ketika akan mendesain kurikulum, prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Desain kurikulum harus memudahkan dan mendorong seleksi serta pengembangan semua jenis pengalaman belajar yang esensial bagi pencapaian prestasi belajar, sesuai dengan hasil yang diharapkan.
2. Desain memuat berbagai pengalaman belajar yang bermakna dalam rangka merealisasikan tujuan–tujuan pendidikan, khususnya bagi kelompok siswa yang belajar dengan bimbingan guru;
3. Desain harus memungkinkan dan menyediakan peluang bagi guru untuk menggunakan prinsip-prinsip belajar dalam memilih, membimbing, dan mengembangkan berbagai kegiatan belajar di sekolah;
4. Desain harus memungkinkan guru untuk menyesuaikan pengalaman dengan kebutuhan, kapasitas, dan tingkat kematangan siswa
5. Desain harus mendorong guru mempertimbangkan berbagai pengalaman belajar anak yang diperoleh diluar sekolah dan mengaitkannya dengan kegiatan belajar di sekolah;
6. Desain harus menyediakan pengalaman belajar yang berkesinambungan, agar kegiatan belajar siswa berkembang sejalan dengan pengalaman terdahulu dan terus berlanjut pada pengalaman berikutnya;
7. Kurikulum harus di desain agar dapat membantu siswa mengembangkan watak, kepribadian, pengalaman, dan nilai-nilai demokrasi yang menjiwai kultur; dan
8. Desain kurikulum harus realistis, layak, dan dapat diterima.

D. BENTUK-BENTUK DESAIN KURIKULUM
Berdasarkan pada fokus pembelajaran desain kurikulum dibagi kepada tiga pola yaitu:
1. Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar.
Subject centered design merupakan bentuk desain yang paling tua dan paling banyak digunakan sampai sekarang. Kurikulum dipustkan pada isi atau materi yang diajarkan, kurikulum disusun atas sejumlah mata pelajaran dan diajarkan secara terpisah-pisah (Sapared subject curriculum). Desain kurikulum ini menekankan pada penguasaan pengetahuan, isi, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu dan berupaya untuk diwariskan kepada generasi berikutnya, maka desain ini disebut juga “Subject Academic Curriculum”.
Dalam desain ini terdapat kelebihan dan kelemahannya, kelebihan desain ini yaitu:
a. Mudah disusun, dilaksanakan dievaluasi dan disempurnakan
b. Para pengajar tidak perlu dipersiapkan khusus, bila dipandang menguasai ilmu atau bahan ajar, maka dipadang sudah dapat menyampaikannya.
Dan kelemahannya yaitu:
a. Karena pengetahuan diberikan secara terpisah-pisah, hal ini bertentangan bahwa pengetahuan merupakan satu kesatuan
b. Peran serta anak didik sangat pasif karena mengutamakan bahan ajar
c. Pengajaran lebih menekankan pengetahuan dan kehidupan masa lalu, pengajaran bersifat verbalistis dan kurang praktis.
Ada tiga bentuk Subject centered design yaitu:
 The Subject Design yaitu materi pelajaran terpisah-pisah dalam bentuk mata pelajaran
 The Disciplines Design yaitu adanya kriteria yang tegas tentang yang disebut subject (Ilmu)
 The Broad Fields Design yaitu adanya usaha untuk menyatukan beberapa mata pelajaran yang berdekatan atau berhubungan yang sebelumnya terpisah.

2. Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa.
Learner centered design merupakan penyempurnaan dari Subject centered design yang mengutamakan peranan isi dari kurikulum, dan memberi tempat utama kepada peserta didik. Di dalam pendidikan atau pengajaran yang belajar dan berkembang adalah peserta didik sendiri. Guru atau pendidik berperan menciptakan situasi belajar-mengajar, mendorong dan memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Ada dua ciri yang membedakan desain model learner centered dengan subject centered yaitu:
a. Learner centered design mengembangkan kurikulum dengan bertolak dari peserta didik dan bukan dari isi.
b. Learner centered design bersifat not-preplanned (kurikulum tidak diorganisasikan sebelumnya) tetapi dikembang bersama antara guru dengan siswa dalam penyelesaian tugas-tugas pendidikan.

3. Problem centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi masyarakat (Nana S, 2005: 113).
Desain kurikulum ini berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang selalu hidup bersama. Konsep ini menjadi landasan dalam pendidikan dan pengembangan kurikulum, dan isi kurikulum berupa masalah-masalah sosial yang dihadapi peserta didik sekarang dan akan datang, sedangkan tujuan disusun berdasarkan kebutuhan, kepentingan dan kemampuan peserta didik. Dalam makalah ini disampaikan dua variasi model desin kurikulum ini yaitu: The Areas of living design dan The Core design.
a. The Areas of Living Design
Desain kurikulum ini menekankan prosedur belajar melalui pemecahan masalah, dimana tujuan yang bersifat proses (process objectives), isi (content objectives) digabungkan. Desain menggunakan pengalaman dan situasi-situasi nyata dari peserta didik sebagai pembuka jalan untuk mempelajari bidang-bidang kehidupan, kelebihan desain ini adalah:
 Desain ini merupakan the subject matter design tetapi dalam bentuk yang terintegrasi
 Kurikulum di organisasikan disekitar problem-problem peserta didik dalam kehidupan sosial
 Menyajikan bahan pelajaran dalam bentuk yang relevan dan fungsional dan secara langsung dipraktekkan dalam kehidupan, sehingga membawa anak didik dalam hubungan yang dekat dengan masyarakat
 Motivasi belajar datang dari dalam diri peserta didik.

b. The Core design
The core design kurikulum yang timbul sebagai reaksi utama kepada separate subjects design, dengan sifatnya yang terpisah-pisah. Desain ini mengintegrasikan bahan ajar, dengan memilih mata pelajaran tertentu sebagai inti (core). Sedangkan pelajaran lainnya dikembangkan disekitar core tersebut. Menurut konsep ini, inti-inti bahan ajar dipusatkan pada kebutuhan individual dan sosial.
Mayoritas memandang core curriculum sebagai suatu model pendidikan atau program pendidikan yang memberikan pendidikan umum. Pada beberapa kurikulum yang berkembang dewasa ini di Indonesia, core curriculum disebut sebagai kelompok mata kuliah atau pelajaran dasar umum, dan diarahkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan pribadi dan sosial.
The core curriculum diberikan guru-guru yang memiliki penguasaan dan berwawasan luas, bukan spesialis. Disamping memberikan pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan sosial, guru-guru juga memberikan bimbingan terhadap perkembangan sosial pribadi peserta didik. Ada beberapa variasi desain core curriculum yaitu:
 The separate subject core yaitu beberapa mata pelajaran yang dipandang mendasari atau menjadi inti mata pelajaran lainnya dijadikan core
 The correlated core ini merupakan perkembangan selanjutnya dimana dengan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran yang erat hubungannya
 The Fused core yaitu pengintegrasiannya bukan hanya antara dua atau tiga pelajaran tetapi lebih banyak
 The activity/experience core model ini berkembang dari pendidikan progresif dengan learner centerd design yaitu bahan ajar dipusatkan pada minat-minat dan kebutuhan peserta didik.
 The areas of living core model ini berkembang dari pendidikan progresif, tetapi organisasinya berstruktur dan dirancang sebelumnya, berbentuk pendidikan umum yang isinya diambil dari masalah-masalah yang muncul dimasyarakat.
 The social problems core yaitu model desain yang didasarkan pada problem-problem yang mendasar dan bersifat kontroversial. Dalam model ini mencoba memberikan penilaian yang sifatnya kritis dari sudut sistem nilai sosial dan pribadi yang berbeda.
Masing-masing desain tersebut dikembangkan menjadi suatu rancangan kurikulum yang memuat unsur-unsur pokok kurikulum yaitu: tujuan, isi, pengalaman belajar, dan evaluasi yang sesuai dengan inti setiap model desain.

E. DESAIN KURIKULUM UNTUK MENGANTISIPASI KRISIS MORAL
Proses pendidikan ini terjadi terus menerus selama hayat dikandung badan (life long education) dalam setiap lingkungan yang dimasuki anak dalam kehidupannya. Dalam mendesain kurikulum untuk masa yang akan datang, Mulyani Sumatri (1994:27), mengemukakan bahwa pengembangan kurikulum harus disertai dengan analisa yang bertalian dengan berbagai akibat pendekatan-pendekatan sebelum penyajian itu dilaksanakan. Dalam perencanaan kurikulum, terjadi suatu proses pengembangan misi berdasarkan nilai-nilai pengembangan kebijakan, menetapkan tujuan, sasaran dan standar, memilih aktivitas belajar, menjamin implementasi yang tepat, mengadakan peninjauan kembali dan siap melakukan revisi bila ternyata ada kesalahan. Kegiatan mendesain kurikulum seyogyanya dilakukan berdasarkan teori-teori yang sudah di konseptualisasikan secara teliti dan hati-hati, agar berbagai pengaruh yang tidak sesuai dengan pembaharuan dapat dihindarkan.
Disamping itu dalam mendesain kurikulum tidaklah terlepas dari prinsip-prinsip umum pengembangan kurikulum yang antara lain prinsip:
1. Relevansi, dalam hal ini dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum yaitu relevan keluar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri;
2. Fleksibilitas, kurikulum harus memiliki kelenturan, karena kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang.;
3. Kontinuitas, yaitu kurikulum harus berkesinambungan dan terus menerus;
4. Praktis, yaitu mudah dilaksanaka, menggunakan alat-alat yang sederhana dan biaya yang murah;
5. Efektifitas, yaitu walaupun kurikulum dilaksanakan dengan sederhana dan murah tetapi keberhasila harus tetap diperhatikan.
Berkaitan dengan desain kurikulum, Combs (1968:105) mengemukakan bahwa: meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan mengubah struktur, metode dan isi kurikulum, cara ini menurut Combs lebih mudah dan relevan bagi siswa dan lingkungan.
Pada kesempatan ini Penulis lebih menekankan pada asas filosofi karena desain kurikulum secara fundamental tergantung pada filosofi pendidikan. Makalah ini didasari dua argumen penting yang menunjukkan bagaimana pentingnya desain kurikulum bagi ahlak dan kesejahetraan sosial seseorang maupun masyarakat. Setelah itu, makalah ini menunjukkan bahwa desain kurikulum secara fundamental tergantung pada filosofi pendidikan. Tanpa filsafat pendidikan yang bisa memberi moral bagi perorangan maupun masyarakat, akan sulit mengidentifikasi unsur dasar yang dapat dijadikan sandaran desain kurikulum. Makalah ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi elemen-elemen dasar dari sebuah filosofi dari pendidikan Islam dan daripadanya memperoleh inti masalah kurikulum pendidikan Islam. Makalah ini juga membahas beberapa strategi untuk mengintegrasikan pengetahuan yang diungkapkan dan ilmu yang didapat dari universitas dan sekolah Islam. Telah diakui oleh pendidik di seluruh dunia bahwa pelayanan pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu perorangan dan masyarakat. Melalui pendidikan yang baik, potensi seseorang yaitu fisik, intelektual, moral, spiritual, dan emosional, dapat diolah dan dikembangkan.
Pendidikan juga punya peranan penting lain, untuk memberi dan mengubah nilai-nilai budaya, dan warisan dari masyarakat tertentu. Pendidikan disebut hanya berperan secara konservatif jika hanya mentransfer nilai-nilai budaya dan kepercayaan dari satu ke generasi ke generasi berikutnya. Padahal juga bisa memainkan peranan yang lebih radikal ketika mencoba mereformasi masyarakat. Secara umum, pendidikan memainkan keduanya yaitu konservatif dan radikal dalam kemajuan peradaban.
Pendidikan adalah proses seumur hidup. Hadits Nabi Muhammad yang terkenal memerintahkan orang beriman untuk "mencari ilmu dari buaian ibu sampai liang lahat." Baru-baru ini, dunia medis modern telah menunjukkan bahwa seorang anak juga dapat menerima stimulus dari luar ketika masih berbentuk embrio. Dengan demikian, potensi belajar bisa dimulai dari beberapa bulan setelah pembuahan.
Pendidikan sendiri mempunyai tiga tipe: informal, formal dan nonformal. Rumah merupakan lembaga paling penting dari pendidikan informal. Di dalamnya, pelajaran berlangsung dalam satu cara yang tidak langsung dan tidak tersusun. Ini merupakan "sekolah" pertama, dan ibu adalah "guru." Sekolah merupakan lembaga pembelajaran penting untuk pendidikan formal. Di dalamnya, pengalaman belajar disusun secara sistematis dan terorganisir untuk mencapai hasil pembelajaran yang khusus. Pendidikan formal, kurikulum sekolah dan guru sekolah sangat penting sebagai fasilitator pembelajaran. Selanjutnya, pembelajaran nonformal, yaitu pendidikan melalui lembaga atau organisasi lain selain sekolah formal, misalnya kelas-kelas melek huruf bagi orang dewasa.
Pendidikan mencakup berbagai masalah. Karena itu, tidak mengherankan jika umat Islam telah konsisten dingatkan oleh para ulama bahwa persoalan pendidikan merupakan hal yang mendasar. Sebagian ulama punya alasan bahwa sebagai sebuah disiplin, pendidikan terdiri dari lima subdisiplin, yaitu kurikulum, konseling, manajemen, pengajaran, dan evaluasi. Makalah ini merupakan upaya untuk menguji kurikulum, sebagai salah satu subdisiplin.
Kurikulum sangat penting sehingga ia disebut sebagai ratu ilmu pendidikan. Kurikulum merupakan cerminan dari filosofi pendidikan dari institusi yang bersangkutan, berkaitan dengan fakta, mekanisme oleh tujuan yang akan dicapai.

F. LANGKAH-LANGKAH MENCAPAI ISLAMISASI PENGETAHUAN
1. Menentukan Agenda
Langkah pertama islamisasi kurikulum yaitu memastikan bahwa sumber dari tujuan pendidikan diambil dari worldview Islam, yang meliputi sifat dasar pelajar, sifat dasar pengetahuan atau materi khusus, dan sesuai dengan kehidupan zamannya. Qur'an dan Sunnah harus dijadikan acuan dalam memahami sifat dasar pelajar dan ilmu pengetahuan, kemudian hasil penelitian empiris terutama berkaitan dengan psikologi mata pelajaran dan pelajar, yang telah diterbitkan dan didokumentasikan yang berungsi sebagai pelengkap.
Langkah berikutnya adalah merumuskan suatu filsafat pendidikan yang jelas berdasar pada worldview Islam. Ini penting untuk dilakukan sebagai pemandu pendidikan bagi negara, pemimpin sekolah, para guru, orang tua dan siswa.
Tujuan yang jelas dan obyektif dari pendidikan harus dirinci. Yaitu berfungsi sebagai true North (utara yang sebenarnya) dari suatu kompas pendidikan dan sifatnya penting untuk menjamin bahwa keseluruhan pendidikan mengalami kemajuan dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan sehingga tidak mengembara ke mana-mana. Konsep hamba dan khalifah harus diterjemahkan ke dalam istilah-istilah operasional. Yang didalamnya mencakup kelanjutan kebijakan dan draf kurikulum yang dibuat sesuai dengan konsep penting ini. Hal ini berarti kurikulum pendidikan Islam tidak hanya ditujukan secara khusus untuk umat Islam, universitas Islam, pendidikan Islam, tetapi juga dapat diakomodasi oleh seluruh manusia.
Dalam semangat ini, para pengembang kurikulum muslim sebaiknya mengusulkan suatu pernyataan yang jelas tentang filsafat Islam dalam bidang pendidikan dengan tujuan: Untuk keseimbangan antara perkembangan kepribadian manusia yang utuh melalui pelatihan ruhani, akal, diri yang berakal, pikiran dan jasmani yang sehat. Pelatihan yang disampaikan kepada kaum Muslim harus betul-betul dilandasi iman yang ditanamkan ke dalam keseluruhan kepribadiannya sehingga membuatnya mencintai Islam dan memungkinkannya mengikuti Qur'an dan Sunnah. Dengan sepenuh hati mau diatur oleh nilai-nilai sistem Islam sehingga ia mulai dapat mewujudkan statusnya sebagai wakil Allah di bumi ini.
Langkah yang ketiga yaitu bahwa kurikulum universitas atau sekolah harus mencerminkan filsafat pendidikan, yang dalam prakteknya tetap melalui mekanisme untuk meraih tujuannya. Secara khusus, hirarki ilmu pengetahuan (antara fardu 'an dan fardu kifayah) harus dipelihara di dalam kurikulum. Ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu yang berfungsi sebagai ruh harus disebarkan ke seluruh mata kuliah pada semua fakultas di universitas Muslim. Oleh karena itu, beberapa mata pelajaran ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu harus menjadi persyaratan kelulusan bagi semua siswa, tanpa mengabaikan spesialisasi mereka.
Pendekatan pengajaran ilmu pengetahuan ini di universitas seharusnya berbeda dengan di sekolah-sekolah, karena mahasiswa lebih dewasa, mampu merefleksikan dan berpikir. Dengan cara yang sama, beberapa mata pelajaran pengetahuan yang diperoleh dari belajar seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu-ilmu sosial, dan humanisme harus diberikan kepada siswa, terlebih ilmu pengetahuan yang berasal dari wahyu. Sebuah kurikulum yang lebih terintregasi, tetapi masih memiliki sebuah inti (ilmu dari wahyu), harus diadopsi oleh sekolah-sekolah dan universitas sehingga permasalahan dualisme pendidikan secara berangsur-angsur terhapus.
Kurikulum yang terintregasi memungkinkan siswa secara bersamaan menguasai ilmu yang didapat dari wahyu dan ilmu yang didapat dari dalam sistem sekolah. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara memperkenalkan bahasa Arab lebih awal dalam kurikulum formal, karena ia adalah bahasa universal dan bahasa umat Islam.
2. Isi dan metode
Ilmu pengetahuan, berbagai hal yang pokok, atau mata pelajaran yang ditawarkan di dalam kurikulum harus bebas dari unsur-unsur sekuler dan westernized sebagai unsur asing dalam Islam. Unsur-unsur tersebut -dualisme, humanisme, sekularisme yang secara khusus milik Barat dan anti Islam, harus dibuang dari kurikulum kita lalu diganti dengan Islamic worldview yang bersifat tauhidi. Kurikulum itu harus memperkuat konsep-konsep Islam sebagai berikut:
a. Pandangan Islam tentang Penciptanya (tauhid, iman dan sifat-sifat Allah);
b. Penciptaan manusia dan tujuannya, yakni untuk menyembah Allah, untuk menjadi khalifah Nya, untuk mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan, dan untuk menyebarkan ajaran islam.
c. Hubungan manusia dengan Penciptanya, yaitu kesadaran dari nya Allah, tanggung-jawab ke Allah, untuk berbuat baik perbuatan-perbuatan, menyembah dan memohon kepada-Nya;
d. Hubungan manusia dengan lainnya, untuk membangun keadilan, untuk memiliki rasa hormat seumur hidup, harta, dan martabat, untuk mengembangkan ahlaq dan untuk menunjukkan toleransi beragama.
e. Hubungan manusia dengan lingkungan yang menekankan perannya sebagai wakil Allah, yang akan bekerja bersama demi keselarasan dengan semua ciptaan Allah, dan untuk mengenali atau menemukan Allah melalui ciptaan-Nya;
f. Pengembangan diri, dengan menyiapkan tempat untuk intropeksi diri dan belajar dari kekeliruan-kekeliruan masa lampau;
g. Tujuan manusia, yang untuk menunjukkan tanggung jawab dengan mengevaluasi peran kita, memahami hari akhir dan dampak-dampak mereka.
h. Pengembangan etos Islam agar tercipta satu lingkungan yang bermanfaat untuk mempraktekkan Islam.
Oleh karena itu, wajib bagi para guru Muslim untuk menanamkan konsep-konsep Islam sebagaimana disebut di atas kepada para siswanya, dengan mengenyampingkan sejenak materi pelajaran yang sedang mereka ajarkan.
Menanamkan konsep-konsep dan nilai-nilai ini secara tidak langsung melalui mata pelajaran, terutama pelajaran ilmu eksakta seperti matematika atau akuntansi, tidaklah mudah. Oleh karena itu, para guru harus menanamkan secara langsung dengan cara bijaksana, terutama saat situasi kelas memungkinkan. Tugas ini tidak harus dibebankan kepada guru agama Islam.
Guru dan bagian administrasi bidang pendidikan harus menyediakan pelajaran terapan, khusunya bagi pelajaran moral dan pengembangan rohani.
Metode-metode baru pengajaran harus dieksplor dan guru atau dosen harus inovatif dan kreatif. Pengajaran ilmu pengetahuan agama tidak boleh terlalu bergantung pada metoda-metoda tradisional, seperti penghafalan teks-teks klasik, meski pelajaran tertentu perlu dihafalkan. Para siswa harus diarahkan pada proses belajar, termasuk metode latihan dan pemecahan masalah bukan hanya pada hasil. Oleh karena itu, mereka perlu dibimbing untuk memiliki sikap kritis dan berfikir sebagaimana yang dijelaskan Allah dalam Qur'an.
Ada sebuah keseimbangan yang harus ditemukan berkaitan dengan pendekatan siswa dengan mata pelajaran. Berkaitan dengan hal ini, pendekatan terhadap pendidikan guru yang selaras dengan filsafat pendidikan harus dikembangkan. Program pendidikan guru sebelum mengajar dan ketika mengajar juga perlu dilakukan dalam rangka pengembangan kepribadian guru, khususnya berkaitan moral dan rohani, yang hampir terabaikan. Guru merupakan komponen paling penting dalam melakukan perubahan-perubahan di dalam pendidikan, dan mereka seharusnya mengetahui dan mampu melihat arah pendidikan yang baru. Program pendidikan guru sebelum bertugas nampaknya hanya ditekankan pada ketrampilan-ketrampilan berfikir dan pengusaaan teknologi informasi tetapi lemah dalam masalah esensi dasar pengembangan pendidikan dan kepribadian,yaitu moral dan spiritual.
3. Evaluasi Pendidikan
Evaluasi merupakan suatu cara yang sangat baik untuk menjelaskan sasaran pendidikan. Ia merupakan proses untuk mengenali seberapa jauh pelajaran mengalami perkembangan dan benar-benar termanage sehingga mendapatkan hasil yang diinginkan. Proses evaluasi diantaranya mengidentifikasi kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dari perencanaan.
Evaluasi merupakan proses untuk mengetahui tingkat perubahan mengenai tingkah laku yang terjadi sebenarnya. Oleh karena itu penting untuk membuang dugaan bahwa evaluasi hanya sekedar percobaan melalui "kertas dan pensil". Evaluasi juga merupakan suatu kekuatan motivasi untuk belajar. Para siswa dipengaruhi pada pelajaran mereka, dan para guru dipengaruhi dalam pengajaran mereka oleh jenis evaluasi yang diharapkan.
Sebagai konsekwensinya, kecuali jika prosedur evaluasi sejajar dengan tujuan kurikulum pendidikan, prosedur evaluasi itu dapat menjadi fokus perhatian siswa bahkan guru ketimbang rancangan tujuan kurikulum.
Hal ini benar, terutama berkenaan dengan tujuan moral dan rohani. Kita mengharapkan banyak perubahan dalam tingkah laku siswa, tetapi sayangnya, para siswa hanya sering mencetak prestasi dalam ujian tertulis tetapi tidak menunjukkan sikap moral yang diharapkan. Bila demikian, maka kurikulum harus ditinjau kembali berkaitan dengan pelajaran yang diberikan kepada mereka,berkaitan dengan metoda pengajaran, dan model aturan evaluasi.




KESIMPULAN

Penerapan suatu kurikulum pada dasarnya adalah adanya kesadaran yang utuh dari seluruh pelaku pendidikan, dimana orientasi utamanya untuk perbaikan lembaga pendidikan kedepan. Sikap yang setengah hati dan kurangnya pemahaman terhadap kurikulum ini akan kembali merancukan tujuan dan hasil yang ingin dicapai.
Melihat keutuhan, maka desain kurikulum untuk yang akan datang harus diarahkan dan dilaksanakan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: paradigma sistem pendidikan yang islami (Islamic education), keterpaduan pendidikan (integrated education), kurikulum berbasis religi, berbasis kemasyarakatan (community based education), dan berorientasi kehidupan (education for living). Karakterstik dari rancangan kurikulum harus dilaksanakan secara totalitas (gestalt), sehingga penataan kurikulum masa yang akan datang bersifat komprehensif yang mencakup semua aspek kehidupan.








DAFTAR PUSTAKA

Beauchamp A George, Curriculum Theory, The Kagg Press, Wilmette Illionis, 1976

Beane A. James (1997), Curriculum Integration: Designing The Core of Democratic Eduction, Teachers College Press, Columbia University

Hamalik Oemar, Manajemen Pengembangan Kurikulum, PT. Remaja Rosda Makalah, Bandung, 2006

Mulyasa E, Kuriukulum Berbasis Kompetensi-Konsep, Karaktersitik dan Implementasi, PT. Remaja Rosda Makalah, Bandung, 2004

Sumantri Mulyani (2002), Pengembangan Potensi Siswa Dengan Kurikulum Terpadu Untuk Menjadi Manusia Indonesia Seutuhnya, UPI, Bandung

Sukmadinata S. Nana, Pengembangan Kurikulum- Teori dan Praktek, PT. Remaja Rosda Makalah, Bandung, 2007

Slattery Patrick, Curriculum Development In The Post Modern Era, Informa, 1953

No comments:

Post a Comment